Kamis, 01 Agustus 2013

Kembali Kepada EYD : Aku dan Ruang Tunggu

       Menunggu beberapa nomor antrian pasien di kursi berwarna biru langit. Aku masih membaca sebuah novel berjudul 'Negri Para Bedebah' karya Tere Liye. Sebuah novel politik yang kebanyakan kata di dalamnya tak kumengerti apa artinya. Semakin lama semakin membuat kelopak mataku tertutup perlahan. Aku terlalut dalam kebosanan suasana ruang tunggu rumah sakit Dr.Soekotjo. Rasanya jika aku tak terkena penyakit cacar air ini sudah kuajak kedua orang tuaku untuk pulang ke rumah saudaraku, akan kubaringkan tubuh lemah ini ke atas ranjang dengan nyaman. Ah, betapa kurindukan ranjang itu, berbeda ddengan kursi keras yang saat ini sedang kududuki. Begitu keras dan tidak nyaman.


       Melihat adik perempuanku yang sejatinya dialah yang menuylarkan penyakit cacar air ini kepadaku, dia terlihat riang gembira karena sudah sehat walafiat. Kaki-kaki kecilnya yang tak berhenti berlalri-lari di koridor rumah sakit serta ocehan mulutnya yang sedaritadi bernyanyi dan bertanya-tanya. Masih saja ditanggapi oleh ibuku yang terlihat lelah menggendongnya sejak tadi pagi.

       Ntah sampai kapan aku harus duduk di sini, rasanya waktu terasa sangat lambat. Memperhatikan orang-orang yang juga terlihat bosan dengan obrolan-obrolan mereka. Atau ayahku yang sudah tertidur pulas dengan jaket kulit hitamnya, tampaknya dia tidak memperdulikan kerasnya bangku ruang tunggu ini. Sedangkan aku, masih menunggu antrian memanggil nomor dua puluh delapan. Aku bosan, antrian masih sampai nomor dua puluh.

       Aku terus mencari kesibukan karena sudah bosan membaca novel. Berulang kali aku membetulkan posisi dudukku karena cacar yang berada tepat di bokongku. Sungguh tak nyaman duduk seperti ini. Jika aku duduk dalam posisi lain maka aku akan kesemutan, jika aku duduk dalam posisi ini maka ruam cacar air di bawah akan tergencit. Sungguh menyiksa.

       Adikku mulai bosan bernyanyi. Kini dia mulai menggangguku. Dia membawa sebuah selotip bekas yang tak kutahu dia dapat dari mana, menempelkannya di atas bulu-bulu tanganku lalu menariknya dengan keras, aku berdecit. Kalau saja ini dirumah sudah ku cubit dia. Acara menunggu antrian ini lebih membosankan daripada menunggu guru sejarah selesai menerangkan pelajaran. Benar-benar sial nasibku hari ini.

***

        Jam menunjuk pukul 4 sore, aku dipanggil ke ruangan. Dr.Soekotjo yang kira-kira berusia hampir 80 tahun memeriksaku tak sampai lima menit dan bilang kalau aku tidak apa-apa. Sungguh tak sebanding dengan waktu yang kuhabiskan di ruang tunggu, empat jam. Lalu aku di Rongten, dan kembali lagi ke ruangannya. Sang dokter menuliskan resep dengan gemetaran karena tangannya yang sudah rentan namun masih sanggup bekerja seperti ini. Kalau aku jadi dia sudah kuhabiskan uang hasil kerja kerasku untuk bersantai di rumah.

        Aku dan ibuku keluar dari ruangan untuk menebus obat-obatan yang di tuliskan oleh sang Dokter. Ibu terkejut, obat-obatan yang di tebus harganya mencapai empat ratus ribu rupiah. Aku merunduk merasa memberatkan kedua orang tuaku. Kata 'tidak apa-apa' yang diucapkan sang dokter hanya membuat aku tenang, tapi dengan obat-obatan yang begitu banyak, aku tahu ada penyakit lain dalam tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar