Sabtu, 23 Juli 2016

Haru | Lebaran 2016

Haru di pangkuan ibuku.

        Saat itu suasana lebaran dan aku sedang di rumah. Sepulang dari masjid melaksanakan shalat Idul Fitri kami langsung pulang dan bersilaturahmi dengan tetangga karena kami tidak punya saudara di Medan selain uwa yang tinggal di Marelan. Sudah menjadi tradisi keluarga kami setiap tahunnya melakukan sungkem sepulang shalat. Ayah duduk di kiri dan ibu di kanan, selalu seperti itu formasinya. Lalu kami anak-anaknya bergantian meminta maaf kepada mereka, aku dan ke-tiga adikku. Meskipun adikku yang paling kecil masih berumur 2 tahun namun ntah kenapa dia ikut menangis melihat air mata kami tumpah di kursi sofa. Mungkin dia mengerti.

        Teringat aku akan dosa-dosa-ku pada ibu. Tak terhitung jumlahnya. Meskipun setahun terakhir ini aku tidak di rumah. Terkadang rindu saat aku terbangun dari tidur. Tak ada yang membangunkan, hanya alarm dari handphone yang selalu aku acuhkan. Begitu setiap harinya. Tidak ada sarapan atau makan malam sayur asem belacan ikan asin buatannya selama ini. Di kamar kos yang kecil ini aku selalu membeli makanan. Meskipun enak namun tak pernah se-enak masakan ibu. Yah itulah lidah anakmu. Meskipun aku selalu meminta uang buat makan tapi percayalah masakanmu nomor satu.

        Jika aku mendekati seorang wanita, wajah ibu akan tergambar di sana. Apakah dia mampu menggantikanmu saat dia bersanding denganku? Apakah calon istriku akan selalu mengigatkanku shalat fardhu lima waktu? Apakah masakannya akan se-enak buatanmu? Aku tak pernah tahu, karena siapapun tak akan sebanding dengan-mu.

        Lewat pesan singkat kau selalu menannyakan kabarku. Ntah kapan terakhir aku menannyakan kabarmu. Bukan aku tak peduli namun percayalah aku selalu merindukanmu. Hanya saja aku ingin mengumpulkan semua rindu agar semuanya tumpah saat kita bertemu. Itu yang kutunggu.

        Aku beruntuk masih bisa memelukmu, menangis di pangkuanmu seperti saat aku duduk di bangku sekolah dasar dan terjatuh dari sepeda, atau mendapat nilai 5 di ujian bulanan. Saat kelas 6 SD aku selalu membuang kertas ujianku yang nilainya jelek dan aku bilang kalau hasilnya tidak dibagikan. Nakalku hanya sebatas itu.

        Tak terbayang mereka yang kehilangan bidadari-nya. Yang hanya bisa menangis di atas tanah berbatu nisan. Aku menangis menulis ini. Sudah cukup. Aku mengerti kenapa kau selalu menyuruhku tinggal lebih lama di rumah. Aku mengerti kenapa kau melarangku pulang larut malam. Aku mengerti rindu-mu kepada anakmu. Aku mengerti.

        Tulisan ini aku tulis untukmu. Kau pernah bilang kalau aku selalu menulis untuk wanita di luar sana tapi tak pernah ada tulisan untuk Ibu. Kali ini aku dedikasikan sepenuhnya kepadamu. Wanita terbaik dalam hidupku. Bahkan sebelum aku hidup di dunia. Aku sayang ibu. Meskipun ini bukan hari ibu meskipun ini bukan hari ulang tahunmu. Aku tetap menulis untukmu. I Love you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar